Tarian Suku Bugis |
1. Tari Paduppa Bosara
Paduppa
berasal dari Bahasa bugis yang berarti “ Penyambutan” dan “Bosara” yang
merupakan wadah atau tempat yang digunakan untuk menyajikan kue dalam sebuah
hajatan maupun dalam acara-acara formal. Dapat didefinisikan jika “Tari Paduppa
Bosara” merupakan tari yang ditujukan untuk menyambut tamu dengan membawa
“bosara” ditangan para penari yang biasanya berisi bunga ataupun beras. Dahulu,
tari ini dijamukan untuk raja ataupun menyambut para tamu agung kerajaan. Tari
ini menggambarkan bagaimana suku bugis dalam menyambut para tamu kehormatan
mereka dengan senantiasa menghidangkan makanan khas bugis diatas talenan kue
atau “bosara”.
Tari
Paduppa Bosara biasanya dibawakan oleh penari berjumlah ganjil, dengan menggunakan
pakaian adat khas bugis yaitu baju bodo disertai sarung sutra bermotif kotak,
dan juga aksesoris khas baju bodo. Hampir
keseluruhan gerakan dalam tarian ini adalah gerakan penghormatan dipadukan
dengan gerakan menyebar beras (isi dari bosara) sebagai tanda penghormatan dan
doa kepada para tamu yang dating.
Tari khas bugis ini berasal dari salah satu
kabupaten di Sulawesi selatan,yaitu kabupaten Soppeng. Pakkurusumange diartikan
sebagai “pemanggil sukma” yang dimana tarian ini menyimbolkan mengenai
kehidupan. Kehidupan yang dimaksud yaitu agar senantiasa diberikan kedamaian,
dan rezeki yang diberkahi tuhan. Tarian ini sering pula dipentaskan sebagai
penyambut tamu.
3. Tari
Mappadendang
https://66.media.tumblr.com/85234b1fc898f0bb254ea2b20130b97c/tumblr_inline_o165jyOCAT1tfdxw5_1280.jpg |
Tarian ini dikenal juga dengan sebutan “Tarian pasca panen” yang dilakukan oleh suku bugis sebagai bentuk rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa, karena telah memberikan hasil panen yang melimpah. Tarian ini, biasanya diadakan secara besar-besaran dengan melakukan penumbukan gabah (biji padi) pada lesung menggunakan Alu (tongkat besat yang terbuat dari kayu).
Selain sebagai upacara yang dilakukan
pasca panen, tarian ini juga menyimbolkan pensucihan gabah yang dalam artiannya
padi masih terikat pada batangnya dan terhubung dengan tanah menjadi beras yang
nanntinya akan menyatu dengan manusia. Karena itu dilakukan terlebih dahulu
pensucihan agar lebih berkah.
Masyarakat bugis melakukan tarian ini pasca
panen raya yang memasuki musim kemarau, pada malam hari saat bulan purnam.
Dasarnya mappadenda berupa bunyi tumbukan alu ke lesung yang silih berganti
sewaktu menumbuk padi, dengan penari terdiri dari 6 orang penari perempuan dan
3 orang penari laki-laki, bilik baruga, lesung, alu dan pakaian tradisional
suku bugis yaitu “waju bodo” untuk penari wanita dan penari pria akan
menggunakan lilit kepala serta baju hitam dan sarung selutut.
Pembukaan acara ditandai dengan penampilan tari
mappadendag. Pada awalnya para pria akan menumbuk alu kosong dengan irama
tertentu. Setelah itu, para penari wanita masuk dengan gerakan tari khas yang
diiringi oleh music “kecapi”.
4. Tari Alusu
https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn%3AANd9GcTrsNDO2kpadpt3R1sJM5MZ99cOjsWeinqMSI2w2bRJ6UcUMhIQ&usqp=CAU |
Tarian ini berasal daerah Sulawesi selatan tepatnya kabupaten Bone. Tarian ini sudah ada sejak raja Tomanurung yang berkuasa pada abad ke 14 masehi. Nama tarian alusu sendiri berasal dari property tari yang digunakan yaitu “Lalosu”. Lalosu merupakan alat yang berupa seruas bambu dan dibungkus dengan anyaman daun lontar. Ujungnya diberi semacam bentuk kepala ayam jantan, burung nuri atau alo (burung enggang), sedang pada ujung yang lain diberi semacam ekor unggas tersebut, dan badan lalosu itu dibungkus dengan kain warna merah atau kuning.
Dahulu
kala, tarian ini dibawakan oleh para “Bissu” yang bertugas melakukan
upacara-upacara misalnya pada pelantikan raja, upacara kelahiran dsb. Makna tarian Alusu terlihat dari
gerakan-gerakan yang muncul saat menari, yaitu : permohonan keselamatan,
melukiskan persatuan dan kesatuan, saling memperingatkan demi kebaikan. Saat
ini, tarian ini sendiri digunakan untuk menyambut para tamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar